SEMUA TENTANG ZIARAH KUBUR
Kematian cepat atau lambat pasti kan menjemput kita, takkan ada yang alpa dari
hal yang satu ini. Namun jangan dikira setelah kematian datang tak ada
kehidupan lagi setelahnya. Justru kehidupan yang sesungguhnya ada pada setelah
kematian kita di dunia ini. Maka jangan heran manakala Rasulullah Saw., para
sahabat dan para ulama salaf shaleh pernah berbincang-berbincang dengan orang
yang sudah mati (ahli kubur), bahkan menjadi rutinitas ibadahnya (ziarah
kubur).
Berikut adalah catatan-catatan saya tentang ziarah kubur, diantaranya sudah
pernah saya postingkan. Saya gabungkan jadi satu postingan khusus dan untuk
melengkapi kekurangan-kekurangan sebelumnya.
Daftar Isi:
a. Mati Hanyalah Perpindahan Alam
b. Pengertian Ziarah Kubur
c. Makanan Penduduk Kuburan
d. Hikmah Ziarah Kubur
e. Dalil-dalil Ziarah Kubur
f. Hukum Ziarah Kubur Bagi Wanita
g. Teladan Rasulullah Saw.
h. Teladan Sahabat Ra.
i. Ziarah ke Makam Rasulullah Saw.
j. Kesalahpahaman Seputar Ziarah Kubur Rasulullah Saw.
k. Ulama Pendukung Ziarah Makam Rasulullah Saw.
l. Dalil-Dalil Diperbolehkannya Ziarah Kubur pada Hari-hari Tertentu
m. Amalan-amalan dalam Ziarah Kubur
n. Bertawassul dan Bertabarruk saat Ziarah Kubur
o. Taubatnya Pengikut Wahabi yang Kini Rajin Ziarah ke Makam Wali
a. Mati Hanyalah Perpindahan Alam
Imam al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah mengenai hadits kematian mengatakan:
“Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian merupakan perpindahan
dari satu keadaan kepada keadaan lain.”
Rasulullah Saw. bersabda:
حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا
حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.
“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian
bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan
kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika
menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits
ini diriwayatkan oleh al-Hafidz Isma’il al-Qadhi pada Juz’ ash-Shalaati ‘ala
an-Nabiy Saw. Imam al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid dan mengkategorikannya
sebagai hadits shahih).
Rasulullah Saw. juga bersabda:
(ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عليه إلا استأنس ورد عليه حتي يقوم)
“Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya
(untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia
berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abi ad-Dunya dari Aisyah Ra. dalam
kitab al-Qubûr).
Rasulullah Saw. juga bersabda:
(ما من أحد يمربقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عَرَفَهُ ورد
عليه السلام)
“Tidak seorangpun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama
hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali
dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdil
Barr dari Ibnu Abbas di dalam kitab al-Istidzkar dan at-Tamhid).
Rasulullah Saw. juga bersabda:
إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا، وإن كان
غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا)
“Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga
kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka
mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata:
“Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah
kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam
musnadnya).
b. Pengertian Ziarah Kubur
Secara bahasa ziarah artinya berkunjung. Secara istilah ziarah kubur adalah
mendatangi kuburan dengan tujuan untuk mendoakan ahli kubur, sebagai pelajaran
(ibrah) bagi peziarah bahwa tidak lama lagi juga akan menyusul menghuni kuburan
sehingga dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt., bertabaruk, ataupun
mengingat mati dan akhirat.
c. Makanan Penduduk Kuburan
Suatu hari seorang ahli ilmu memimpikan ahli kubur (penduduk kuburan) yang
keluar dari kuburan mereka. Beliau bercerita:
“Mereka mengambil sesuatu yang menakjubkan yang tidak saya ketahui. Namun aku
melihat ada seorang lelaki di antara mereka yang tetap duduk tidak ikut serta
mengambil hal yang menakjubkan itu. Lantas saya dekati dan kutanyakan: “Apa
yang diambil oleh mereka?”
Dijawab: “Mereka mengambil hadiah dari kaum muslimin berupa bacaan al-Quran,
sedekah dan doa.”
Kemudian saya bertanya kembali: “Namun mengapa Anda tidak turut serta bersama
mereka?”
Dijawab: “Saya tak membutuhkan lagi hal itu (sudah kaya).”
Kutanyakan padanya: “Dengan sebab apakah Anda tak membutuhkannya?”
Dijawab olehnya: “Setiap hari anakku membaca dan berkirim hadiah untukku satu
khataman al-Quran. Pekerjaannya adalah sebagai penjual zalabiyyah (semacam
serabi) di sebuah pasar.”
Ketika aku terbangun dari tidur, saya beranjak ke pasar sesuai yang dikatakan
dalam mimpi. Maka kujumpai seorang pemuda penjual zalabiyyah yang terus-menerus
menggerakkan kedua bibirnya. Aku bertanya kepadanya: “Kenapa kedua bibirmu
senantiasa bergerak?”
Dijawab olehnya: “Saya sedang membaca al-Quran. Saya hadiahkan bacaan al-Quran
ini untuk ayahku yang berada dalam kuburan.”
Demikianlah yang terjadi. Setelah sekian lama saya terulang bermimpi hal yang
sama. Hanya bedanya dalam mimpi kali ini si laki-laki yang dulu tidak turut
mengambil bagian, sekarang ia bersama penduduk kubur yang lain ikut mengambil
bagian. Dan saat aku bangun maka kucari pemuda penjual zalabiyyah itu di pasar
untuk aku tanyakan bagaimana keadaan orang tuanya kini. Namun ternyata ia telah
wafat. (Irsyad al-‘Ibad halaman 35)
d. Hikmah Ziarah Kubur
وعن ابن مسعود رضي الله عنه أن رسول الله قال كنت نهيتكم عن زيارة القبور أي مطلقا
فزوروا وفي نسخة فزوروها فإنها أي زيارة القبور أو القبور أي رؤيتها تزهد في
الدنيا قال ذكر الموت هادم اللذات ومهون الكدورات ولذا قيل إذا تحير...تم في
الأمور فاستعينوا بأهل القبور هذا أحد معنييه وتذكر الآخرة وتعين على الاستعداد
لها رواه ابن ماجه
Dari Ibn Mas’ud Ra. sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: “Adalah aku (dulu)
melarangmu berziarah kubur (secara mutlak), maka saat ini berziarahlah.”
Manfaat ziarah kubur diantaranya; agar zuhud di dunia, selalu teringat
kematian, menghilangkan kesuntukan, mengingat akhirat dan agar selalu
mempersiapkan bekal menujunya.
Karenanya dikatakan dalam hadits yang lain: “Bila kalian kebingungan akan
permasalahan-permasalahan kalian maka obatilah dengan berziarah pada
orang-orang yang menghuni kuburan.” (HR. Ibn Majah).
e. Dalil-dalil Ziarah Kubur
Dalil-dalil tentang disunahkannya ziarah kubur adalah sebagaimana hadits-hadits
berikut:
عَنْ بَرِيْدَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِىْ
زِيَارَةِ قَبْرِ اُمَّةِ فَزُوْرُوْهَا فَاِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَةِ.(رواه
الترمذي.٩٧٠)
Dari Buraidah Ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Saya pernah melarang
kalian berziarah kubur. Tapi sekarang Muhammad teah diberi izin untuk berziarah
ke makam ibunya. Maka sekarang berziarahlah, karena perbuatan itu dapat
mengingatkan kamu pada akhirat.” (HR. At-Tirmidzi)
عَنْ هِشَامِ بْنِ سَاِلمِ قَالَ: عَاشَتْ فَاطِمَةَ بَعْدَ اَبِيْهَا خَمْسَةَ
وَسَبْعِيْنَ يَوْمًا لمَ ْتُرَى-كََاشِرَةٌ وَلَا صَاحِكَةٌ تَأْتِى قُبُوْرَ
الشُّهَدَاءِ فِىْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّتَيْنِ اْلاِثْنَيْنِ وَاْلخَمِيْسِ
فَتَقُوْلُوْهَا هُنَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ.
وَرَوَى اَيْضًا الِتْرِمذِي وَالْحَاكِمُ فِي نَوَادِرِ اْلاُصُوْلِ مِنْ
حَدِيْثِ عَبْدِ اْلغَفُوْرُِ بْنِ عَبْدِ اْلعَزِيْزِ عَنْ اَبِيْهِ مِنْ جَدِّهِ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَعَرَّضَ عَلَى
اْلاَنْبِيَاءِ وَعَلَى اْلاَبَاءِ وَاْلاُمَّهَاتِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ
فَيَفْرَحُوْنَ بِحَسَانَتِهِمْ وَتُزْدَادُ وُجُوْهُهُمْ بَيَاضًا وَاَشْرَافًا.
Dari Hisyam bin Salim Ra. mengatakan bahwa: “Setelah 75 hari ayahnya (Nabi
Muhammad Saw.) meninggal, Fathimah tidak lagi murung. Ia selalu ziarah ke makam
para Syuhada dua hari dalam seminggu, yakni setiap Senin dan Kamis, sambil
berucap: “Di sini makam Rasulullah.”
Sebuah hadits yang diriwayatkan at-Tirmidzi dan Hakim dalam kitab Nawadir
al-Ushul, dari Abdul Ghafur bin Abdul Aziz dari ayahnya dari kakaknya, ia
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Amal manusia itu dilaporkan kepada
Allah setiap hari Senin dan Kamis, lalu diberitahukan kepada para Nabi, kepada
bapak-bapak, ibu-ibu mereka yang lebih dulu meninggal pada hari Jum’at. Mereka gembira
bila melihat amal-amal baiknya, sehingga tampak wajahnya bersinar putih
berseri.” (Kasyf As-Syubuhat halaman 39).
(قَالَ النَّوَاوِيُّ) فِىْ شَرْحِ اْلمُهَذَّبِى يُسْتَحَبُّ يَعْنِى لِزَائِرِ
اْلاَمْوَاتِ اَنْ يَقْرَأَ مِنَ اْلقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوْ لَهُمْ
عُْبَاهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّفِعِيُّ وَالتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَاب
Dalam Syarh al-Muhadzdzab Imam an-Nawawi berkata: “Disunahkan bagi seorang yang
berziarah kepada orang mati agar membaca ayat-ayat al-Quran sekadarnya dan
berdoa untuknya. Keterangan ini diambil dari teks Imam asy-Syafi’i dan
disepakati oleh para ulama yang lainnya. (Kasyf as-Syubuhat halaman 129 karya
as-Syaikh Mahmud Hasan Rabi).
Dalam kitab Nahj al-Balaghah halaman 394-396 disebutkan sebuah hadits Nabi
Saw.:
وَكَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ قُبُوْرَ شُهَدَاءِ أُحُدٍ
وَقُبُوْرَ اَهْلِ اْلبَقِيْعِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ وَيَدْعُوْ لَهُمْ بِمَا
تَقَدَّمَ ( رواه مسلم واحمد وابن ماجه.)
“Rasulullah Saw. berziarah ke makam para syuhada dalam perang Uhud dan makam
keluarga Baqi’. Beliau Saw. mengucapkan salam dan mendoakan mereka atas
amal-amal yang telah mereka kerjakan.” (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah).
Disebutkan dalam kitab I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 142:
فَقَدْ رَوَى اْلحَاكِمُ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ زَارَ
قَبْرَ اَبَوَيْهِ اوَ ْاَحَدَهُمَا فِيْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً غَفَّرَ اللهُ
لَهُ وَكَانَ بَارًّا بِوَالِدَيْهِ.
Hadits riwayat Hakim dari Abu Hurairah Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa ziarah ke makam orang tuanya setiap hari Jum’at, Allah pasti akan
mengampuni dosa-dosanya dan mencatatnya sebagai bukti baktinya kepada orang
tua.”
Adapun kaitannya dengan hadits Nabi Saw. berikut ini:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَعَنَ زَوَّارَاتِ اْلقُبُوْرِ (رواه احمد ٨٠٩٥ )
“Dari Abu Hurairah Ra. bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. melaknat wanita yang
berziarah kubur.” (HR. Ahmad no. 8095).
Menyikapi hadits ini, para ulama menyatakan bahwa larangan itu telah dicabut
menjadi sebuah kebolehan berziarah baik bagi laki-laki dan perempuan. Imam
at-Tirmidzi menjelaskan: “Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa hadits itu
diucapkan sebelum Nabi Saw. membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah
Rasulullah Saw. membolehkannya, maka laki-laki dan perempuan tercakup dalam
kebolehan itu.” (Sunan at-Tirmidzi ayat 979).
Dalil-dalil ini membuktikan bahwa ziarah kubur itu memang dianjurkan. Terlebih
jika yang diziarahi itu adalah makam para wali dan orang shaleh.
Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang berziarah ke makam para wali pada
waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau
menjawab: “Berziarah ke makam para wali adalah ibadah yamg disunahkan. Demikian
pula dengan perjalanan ke makam mereka.” (Al-Fatawi al-Kubra juz 2 halaman 24).
f. Hukum Ziarah Kubur Bagi Wanita
Ingatlah bahwa kebolehan ziarah kubur adalah umum untuk laki-laki maupun
perempuan. Adapun pendapat yang menyatakan kemakruhan wanita ziarah kubur
adalah karena ada sebab-sebab tertentu, bukan pada ziarah kuburnya.
Dari Buraidah Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Tadinya aku melarang kalian
berziarah,tapi kini berziarahlah kalian.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain
dikatakan: “Maka barangsiapa yang ingin ziarah kubur, maka berziarahlah. Karena
sesungguhnya ziarah kubur itu dapat mengingatkan akhirat.” (HR. Muslim).
Maksud hadits adalah bahwa ziarah kubur disyariatkan dalam Islam. Para ulama
telah sepakat menyatakan bahwa ziarah kubur hukumnya sunnah bagi kaum
laki-laki, khususnya untuk melaksanakan hak seperti ayah dan teman, mengingat
mati, dan melembutkan hati dengan cara mengingat mati berikut
tingkah-tingkahnya, sebagaimana keterangan-keterangan yang berlaku di dalam
hadits-hadits Nabi Saw.
Adapun kemakruhan wanita dalam ziarah kubur adalah karena ada hadits Nabi Saw.
yang menjelaskan tentang itu (yakni ada sebab-sebab tertentu).Adapun keharaman
ziarah kubur bagi wanita bilamana diiringi dengan sesuatu yang dilarang menurut
syara’, seperti bilamana takut terjadi fitnah atau kerasnya suara wanita dengan
menangis.
Ziarah kubur hukumnya diperbolehkan bagi wanita bilamana dekat dengan orang
yang terkena musibah dan tidak timbul fitnah yang dilarang oleh syara’.
Demikian pula, ziarah ke makam Nabi Saw. hukumnya disunnahkan berdasarkan
hadits yang menasakh tentang pelarangan ziarah kubur.
Memang, pada awal perintahan Nabi Saw. ziarah kubur itu hukumnya diharamkan,
karena umat Islam pada masa itu masih ada kedekatannya dengan kebiasaan mereka
pada zaman jahiliyah. Juga masih adanya kebiasaan menyembah berhala. Selain
itu, mereka juga suka berbuat niyahah (meratapi mayit) atau lainya yang
diharamkan ketika melakukan ziarah kubur.
Kemudian, hukum haram ziarah kubur tersebut diganti dengan hukum sunnah setelah
adanya kejelasan dalam aqidah Islam, tertancapnya kaedah-kaedah dan hukum-hukum
Islam di dada mereka. Dengan demikian, seorang mukmin harus selalu mengingat
mati. Karena, mengingat mati adalah persiapannya orang-orang yang akan mati,
baik untuk saat ini maupun saat yang akan datang. (Lihat selengkapnya dalam
I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 142 dan Nuzhat al-Muttaqin Syarh Riyadh
ash-Shalihin juz 1).
Asy-Syaikh Abdul Mu’thi as-Saqaa mengatakan: “Berziarah di kuburan orang-orang
muslim disunahkan bagi para pria berdasarkan hadits riwayat Muslim: “Aku (dulu)
melarang kalian berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah karena ia mengingatkan
kalian pada akhirat.” Sedang bagi para wanita ziarah kubur hukumnya makruh bila
bukan kuburan Nabi, orang alim, orang shalih atupun kerabat. Sedang menziarahi
kuburan Nabi dan orang yang telah disebutkan tadi maka sunnah baginya bila
kuburannya masih dalam satu daerah atau di luar daerah saat ia bersama
mahramnya.
Kesunnahan ziarah baginya dengan ketentuan sudah mendapatkan izin suami atau walinya,
aman dari fitnah dan dalam perkumpulannya tidak menimbulkan kerusakan seperti
pada umumnya bahkan yang menjadi kenyataan di zaman ini, bila tidak demikian
maka keharaman ziarah baginya tidak dapat disangsikan.
Disunahkan memperbanyak ziarah kubur adalah dengan tujuan supaya dapat
mengambil pertimbangan, peringatan serta teringat kehidupan akhirat. Kesunnahan
ziarah menjadi muakad (sangat dianjurkan) di hari Kamis sore dan hari Jum’at
dan makruh di hari Sabtu.” (Selengkapnya lihat dalam Al-Irsyadaat as-Sunniyyah
halaman 111).
Ziarah kubur disunnahkan agar dapat mengambil pertimbangan, peringatan serta
teringat kehidupan akhirat, kesunahannya menjadi muakad di hari hari Jum’at dan
hari sebelumnya (Kamis) serta hari setelahnya menurut kalangan Hanafiyah dan
Malikiyyah, berbeda menurut kalangan Hanabilah yang menyatakan ziarah kubur
tidak muakad, tidak di hari tertentu juga hari lainnya.
Sedangkan kalangan Syafi’iyyah yang menyatakan: “Menjadi sunnah yang muakkad
mulai Asharnya hari Kamis hingga terbitnya matahari di hari Sabtu.” Pernyataan
ini juga sesuai pendapat yang unggul di kalangan Malikiyyah. (Lihat
selengkapnya dalam Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah juz 1 halaman 855).
g. Teladan Rasulullah Saw.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Ra. berkata bahwa setiap Rasulullah Saw. bermalam di
tempatnya, di penghujung malam beliau selalu keluar (ziarah) ke pemakaman Baqi’
dan mengucapkan: “Semoga keselamatan atas kamu semua, wahai penghuni
perkampungan orang-orang mukmin, telah datang kepadamu semua apa-apa yang telah
dijanjikan dan ditentukan (kematian), dan sungguh insya Allah kami akan
menyusulmu. Ya Allah ampunilah (dosa-dosa) penduduk Baqi’ al-Ghorqod.” (H.R.
Muslim).
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَرَكَ قَتْلَى بَدْرٍ ثَلَاثًا ثُمَّ أَتَاهُمْ فَقَامَ عَلَيْهِمْ
فَنَادَاهُمْ فَقَالَ يَا أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ يَا أُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ
يَا عُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ يَا شَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ أَلَيْسَ قَدْ
وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا فَإِنِّي قَدْ وَجَدْتُ مَا وَعَدَنِي
رَبِّي حَقًّا فَسَمِعَ عُمَرُ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَسْمَعُوا وَأَنَّى يُجِيبُوا
وَقَدْ جَيَّفُوا قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا
أَقُولُ مِنْهُمْ وَلَكِنَّهُمْ لَا يَقْدِرُونَ أَنْ يُجِيبُوا( رواه البخارى
ومسلم)
Rasul Saw. berbicara kepada yang mati sebagaimana selepas perang Badr 3 hari,
Rasul Saw. mengunjungi mayat-mayat orang kafir, lalu Rasulullah Saw. berkata:
“Wahai Abu Jahal bin Hisyam, wahai Umayyah bin Khalf, wahai ‘Utbah bin Rabi’,
wahai Syaibah bin Rabi’ah, bukankah kalian telah dapatkan apa yang dijanjikan
Allah pada kalia? Sungguh aku telah menemukan janji Tuhanku benar.”
Maka berkatalah Umar bin Khaththab Ra.: “Wahai Rasulullah, engkau berbicara
pada bangkai, dan bagaimana mereka mendengar ucapanmu?”
Rasul Saw. menjawab: “Demi (Allah) yang diriku dalam genggamanNya, engkau tak
lebih mendengar dari mereka (engkau dan mereka sama-sama mendengarku), akan
tetapi mereka tak mampu menjawab.” (HR. Bukari dan Muslim, redaksi hadits ini
dari Shahih Muslim hadits no. 6498).
Makna ayat: “Sungguh Engkau tak akan didengar oleh yang telah mati”. Berkata
Imam Qurthubi dalam tafsirnya makna ayat ini bahwa yang dimaksud orang yang
telah mati adalah orang kafir yang telah mati hatinya dengan kekufuran, dan
Imam Qurthubi menukil hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa Rasul
Saw. berbicara dengan orang mati dari kafir Quraisy yang terbunuh di perang
Badr. (Tafsir Qurthubi juz 13 halaman 232).
Berkata Imam ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya bahwa makna ayat itu:
“Bahwa engkaua wahai Muhammad tak akan bisa memberikan kefahaman kepada orang
yang telah dikunci Allah untuk tak memahami.” (Tafsir Imam ath-Thabari juz 20
halaman 12 dan juz 21 halaman 55).
Berkata Imam Ibn Katsir rahimahullah dalam tafsirnya: “Walaupun ada perbedaan
pendapat tentang makna ucapan Rasul Saw. pada mayat-mayat orang kafir pada
peristiwa Badr, namun yang paling shahih diantara pendapat para ulama adalah
riwayat Abdullah bin Umar Ra. dari riwayat-riwayat shahih yang masyhur dengan
berbagai riwayat, diantaranya riwayat yang paling masyhur adalah riwayat Ibn
Abdil Barr yang menshahihkan riwayat ini dari Ibn Abbas Ra. dengan riwayat
Marfu’ bahwa:
“Tiadalah seseorang berziarah ke makam saudara muslimnya di dunia, terkecuali
Allah datangkan ruhnya hingga menjawab salamnya”, dan hal ini dikuatkan dengan
dalil shahih (riwayat shahihain) bahwa Rasul Saw. memerintahkan mengucapkan
salam pada ahli kubur, dan salam hanyalah diucapkan pada yang hidup, dan salam
hanya diucapkan pada yang hidup dan berakal dan mendengar, maka kalau bukan
karena riwayat ini maka mereka (ahli kubur) adalah sama dengan batu dan benda
mati lainnya. Dan para salaf bersatu dalam satu pendapat tanpa ikhtilaf akan
hal ini, dan telah muncul riwayat yang mutawatir (riwayat yang sangat banyak)
dari mereka, bahwa: “Mayit bergembira dengan kedatangan orang yang hidup ke
kuburnya.” (Tafsir Imam Ibn Katsir juz 3 halaman 439).
Dalam riwayat lain Rasul Saw. bertanya-tanya tentang seorang wanita yang biasa
berkhidmat di masjid, berkata para sahabat bahwa ia telah wafat, maka Rasul
Saw. bertanya: “Mengapa kalian tak mengabarkan padaku? Tunjukkan padaku
kuburnya.” Lalu datanglah beliau Saw. ke kuburnya dan menyolatkannya, lalu
beliau Saw. bersabda: “Pemakaman ini penuh dengan kegelapan (siksaan), lalu
Allah menerangi pekuburan ini dengan shalatku pada mereka.” (Shahih Muslim
hadits no. 956)
h. Teladan Sahabat Ra.
Abdullah bin Umar Ra. bila datang dari perjalanan dan tiba di Madinah maka ia
segera masuk masjid dan mendatangi Kubur Nabi Saw. seraya berucap:
“Assalamu’alaika yaa Rasulallah, Assalamu’alaika yaa Ababakr, Assalamu’alaika
yaa Abataah (wahai ayahku).” (Sunan al-Kubra Imam Baihaqi hadits no. 10051).
Berkata Abdullah bin Dinar Ra.: “Kulihat Abdullah bin Umar Ra. berdiri di kubur
Nabi Saw. dan bersalam pada Nabi Saw. lalu berdoa, lalu bersalam pada Abubakar
dan Umar Ra.” (Sunan al-Kubra Imam Baihaqi hadits no. 10052).
i. Ziarah ke Makam Rasulullah Saw.
Sabda Rasulullah Saw.: “Barangsiapa yang pergi haji, lalu menziarahi kuburku
setelah aku wafat, maka sama saja dengan mengunjungiku saat aku hidup.” (Sunan
al-Kubra Imam Baihaqi hadits no. 10054).
Dan masih banyak lagi kejelasan dan memang tak pernah ada yang mengingkari
ziarah kubur sejak zaman Rasul Saw. hingga kini selama 14 abad (seribu empat
ratus tahun lebih) semua muslimin berziarah kubur, berdoa, bertawassul,
bersalam dll. tanpa ada yang mengharamkannya apalagi mengatakan musyrik kepada
yang berziarah. Hanya kini saja muncul dari kejahilan dan kerendahan pemahaman
atas syariah, munculnya pengingkaran atas hal-hal mulia ini yang hanya akan
menipu orang awam, karena hujjah-hujjah mereka batil dan lemah.
j. Kesalahpahaman Seputar Ziarah Kubur Rasulullah Saw.
Satu lagi contoh potongan perkataan ulama salaf shaleh disalah gunakan oleh
mereka yaitu perkataan Imam Malik bin Anas untuk melarang ziarah ke kuburan
Rasulullah Saw. Bahkan ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyah di dalam kitab
Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 halaman 111-112 sangat mengandalkan potongan
perkataan tersebut. Ibnu Taimiyah berkata:
بل قد كره مالك وغيره أن يقال: زرت قبر النبي صلى الله عليه وسلم، ومالك أعلم
الناس بهذا الباب، فإن أهل المدينة أعلم أهل الأمصار بذلك، ومالك إمام أهل
المدينة. فلو كان في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: فيها لفظ «زيارة
قبره» لم يخف ذلك على علماء أهل مدينته وجيران قبره ـ بأبي هو وأمي.
“Bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata: “Aku menziarahi kubur
Nabi Saw.”, sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan
penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik
adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari
Rasulullah Saw. yang di dalamnya terdapat lafadz ‘menziarahi kuburnya’, niscaya
tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah
dan penduduk sekitar makam beliau –demi bapak dan ibuku.”
Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya tampaknya salah paham terhadap ungkapan Imam
Malik tersebut. Imam Malik adalah orang yang sangat memuliakan Rasulullah Saw.,
sampai-sampai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa
tubuh Rasulullah Saw. dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan: “Aku
malu kepada Allah ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah
Saw. dengan kaki hewan (kendaraan-pent).” (Syarh Fath al-Qadir juz 3 halaman
180 karya Muhammad bin Abdul Wahid as-Saywasi).
Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar biasa itu dalam memuliakan jasad
Rasulullah Saw. seperti menganggap seolah beliau masih hidup, membuatnya benci
kepada orang yang ingin menziarahi makam Rasulullah Saw.? Sungguh ini adalah
sebuah pemahaman yang keliru.
Imam Ibnu Hajar al-Asqallani menjelaskan: “Imam Malik membenci ucapan: “Aku
menziarahi kubur Nabi Saw”, adalah karena semata-mata dari sisi adab, bukan
karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para
muhaqqiq (ulama khusus) madzhabnya. Dan ziarah kubur Rasulullah Saw. adalah
termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari’atannya jelas, dan hal itu
merupkan ijma’ para ulama. (Fath al-Bari juz 3 halaman 66).
Artinya, kita bisa berkesimpulan, setelah mengetahui betapa Imam Malik
memperlakukan jasad Rasulullah Saw. yang dikubur di Madinah itu dengan akhlak
yang luar biasa, seolah seperti menganggap beliau masih hidup, maka ia pun
lebih suka ungkapan: “Aku menziarahi atau mendatangi Rasulullah Saw.” daripada
ungkapan “Aku menziarahi kubur Rasulullah Saw.” berhubung banyak hadits
mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw. dan kaum muslim yang telah meraih maqom di
sisiNya di dalam kuburnya dapat mengetahui, melihat, dan mendengar siapa saja
yang menziarahinya dan mengucapkan salam dan shalawat kepadanya. Tampak Imam
Malik tidak suka Rasulullah Saw. yang telah wafat itu diperlakukan seperti
orang mati pada umumnya, dan asumsi ini dibenarkan oleh dalil-dalil yang sah.
Rasulullah Saw. bersabda:
حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا
حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.
“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian
bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan
kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan
keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini
diriwayatkan oleh al-Hafidz Isma’il al-Qadhi pada Juz’ ash-Shalaati ‘ala
an-Nabiy Saw. Imam al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid dan mengkategorikannya
sebagai hadits shahih).
Rasulullah Saw. juga bersabda:
(ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عليه إلا استأنس ورد عليه حتي يقوم)
“Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya
(untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia
berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abi ad-Dunya dari Aisyah Ra. dalam
kitab al-Qubûr).
Rasulullah Saw. juga bersabda:
(ما من أحد يمربقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عَرَفَهُ ورد
عليه السلام)
“Tidak seorangpun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama
hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali
dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdil
Barr dari Ibnu Abbas di dalam kitab al-Istidzkar dan at-Tamhid).
Rasulullah Saw. juga bersabda:
إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا، وإن كان
غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا)
“Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga
kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka
mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata:
“Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah
kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam
musnadnya).
Imam an-Nawawi berkata: “Al-Khufajiy di dalam Syarh asy-Syifa menyebutkan bahwa
as-Sabkiy mengatakan sebagai berikut: “Sahabat-sahabat kami menyatakan, adalah
mustahab jika orang pada saat datang berziarah ke pusara Rasulallah Saw.
menghadapkan wajah kepadanya dan membelakangi kiblat, kemudian mengucapkan
salam kepada beliau Saw. beserta keluarganya (ahlul bait) dan para sahabatnya,
lalu mendatangi pusara dua orang sahabat beliau Saw. (Abubakar dan Umar Ra.).
Setelah itu lalu kembali ke tempat semula dan berdiri sambil berdo’a.”
(Al-Majmu’ juz 8 halaman 272 dan Syarh sy-Syifa juz 3 halaman 398).
Dengan demikian tidak ada ulama yang mengatakan cara berziarah yang tersebut di
atas adalah haram, bid’ah, sesat dan lain sebagainya. Namun ada lagi dari
golongan pengingkar yang melarang ziarah kemakam Nabi Saw. dengan alasan
hadits: “Jangan susah-payah bepergian jauh kecuali ke tiga buah masjid;
al-Masjid al-Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi) dan al-Masjid al-Aqsha
(Palestina).”
Padahal hadits tersebut berkaitan dengan masalah sholat dan masjid, bukan
masalah ziarah kubur. Yang dimaksud hadits tersebut ialah: “Jangan
bersusah-payah bepergian jauh hanya karena ingin bersholat di masjid lain,
kecuali tiga masjid yang disebutkan dalam hadits itu”, karena sholat di selain
ketiga masjid tersebut sama pahalanya.
Makna ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal
bahwa Rasulallah Saw. pernah bersabda: “Orang tidak perlu bepergian jauh dengan
niat mendatangi masjid karena ingin menunaikan sholat di dalamnya, kecuali
Masjidil Haram(di Makkah), Masjidil Aqsha (di Palestina) dan masjidku (di
Madinah).” Imam al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini terkenal luas
(masyhur) dan baik.
Hadits lainyang semakna di atas tapi sedikit perbedaan kalimatnya yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah Ra. dan dipandang sebagai hadits baik dan masyhur
oleh Imam al-Hafidz al-Haitsami yaitu: “Orang tidak perlu berniat hendak
bepergian jauh mendatangi sebuah masjid karena ingin menunaikan sholat di
dalamnya kecuali Masjidil Haram(di Makkah), Masjidil Aqsha (di Palestina) dan
masjidku (di Madinah).” (Majma’ az-Zawaid juz 4 halaman 3). Dan banyak hadits
lainnya yang semakna tapi berbeda versinya.
Dengan demikian hadits-hadits di atas ini semuanya berkaitan dengan sholat dan
masjid bukan sebagai larangan untuk (perjalanan) berziarah kubur kepada
Rasulallah Saw. dan kaum muslimin lainnya.
Bila alasan pelarangan ziarah kubur Rasulullah Saw. itu kemudian dikaitkan
dengan larangan mengupayakan perjalanan (syaddur-rihal) kecuali kepada tiga
masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha) yang terdapat di
dalam hadits maka makin terlihatlah kejanggalannya. Karena dengan begitu,
segala bentuk perjalanan (termasuk silaturrahim kepada orang tua atau famili,
menuntut ilmu, menunaikan tugas atau pekerjaan, berdagang, dan lain-lain)
otomatis termasuk ke dalam perkara yang dilarang, kecuali perjalanan hanya
kepada ke tiga masjid tersebut.
Di sinilah para ulama meluruskan pengertiannya, bahwa pada hadits tersebut
terdapat ‘illat (benang merah) yang membuatnya tidak mencakup keseluruhan
bentuk perjalanan, yaitu adanya kata “masjid”. Sehingga dengan begitu, yang
dilarang adalah mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk melakukakan
perjalanan kepada suatu masjid selain dari tiga masjid yang utama tersebut,
karena nilai ibadah di selain tiga masjid itu sama saja atau tidak ada
keistimewaannya.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami
‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj menuliskan: “Jangan tertipu dengan
pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah,
karena sesungguhnya dia adalah manusia yang telah disesatkan oleh Allah;
sebagaimana kesesatannya itu telah dinyatakan oleh Imam al-’Izz ibn Jama’ah,
juga sebagaimana telah panjang lebar dijelaskan tentang kesesatannya oleh Imam
Taqiyyuddin as-Subki dalam karya tersendiri untuk itu (yaitu kitab Syifa’
as-Siqam fi Ziyarah Khair al-Anam). Penghinaan Ibnu Taimiyah terhadap
Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh; oleh karena terhadap Allah saja dia
telah melakukan penghinaan, –Allah Maha Suci dari segala apa yang dikatakan
oleh orang-orang kafir dengan kesucian yang agung–. Kepada Allah; Ibnu Taimiyah
ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari
keburukan-keburukan yang sangat keji. Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh
banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya
dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala
apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”
Selain mereka mengingkari sunnah Rasulullah mengenai ziarah kubur, merekapun
melarang berdoa di kuburan dengan dalil: “Dari ‘Ali bin Husain bahwasanya ia
melihat seorang laki-laki mendatangi sebuah celah dekat kuburan Nabi Saw.
kemudian ia masuk ke dalamnya dan berdoa. Maka Ali bin Husain berkata: “Maukah
kusampaikan hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah
Saw. yang bersabda: “Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied, dan
jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bersholawatlah kepadaku karena
sholawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada.” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya juz 2 halaman 268 dan Abdurrazzaq
dalam Mushannafnya juz 3 halaman 577 hadits no. 6726).
Mereka memahami riwayat dari Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib sebagai
larangan berdoa atau bertawassul di makam Nabi. Riwayat dari Ali bin Husain bin
Ali bin Abi Thalib tersebut sekedar mengingatkan orang yang masuk dan berdoa
pada celah dekat kuburan Nabi Saw. untuk tidak menyembah kuburan Nabi.
Larangan menjadikan kuburan sebagai ‘ied” atau “larangan menjadikan menjadikan
kuburan sebagai masjid” dengan mengembalikan kata masjid kepada kata asalnya
sajada, tempat sujud. Berikut anjuran untuk tidak perlu mempersulit diri dengan
memasuki celah dekat kuburan Nabi Saw. karena bersholawat, bertawassul dapat
dilakukan di manapun. Dalam ziarah kubur kita sebaiknya menghindari timbulnya
fitnah orang lain yang melihat sehingga beranggapan adanya penyembahan kuburan.
Begitupula perkataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah: “Benci diagungkannya
seorang makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid, khawatir fitnah kepadanya
dan kepada masyarakat”.” Cara memahaminya adalah kata masjid dikembalikan
kepada asal katanya yakni sajada yang artinya tempat sujud sehingga maknanya
janganlah bersujud pada kuburan beliau Saw. untuk menghindari timbulnya fitnah
orang lain yang melihat sehingga beranggapan adanya penyembahan kuburan
walaupun di hati yang bersujud tidak meniatkan untuk menyembah tapi hanya
sekedar penghormatan.
Begitupula apa yang dikatakan oleh Aisyah Ra.: “Kalau bukan karena itu, niscaya
kuburan beliau dipertontonkan, padahal tindakan itu dikhawatirkan akan
dijadikannya kuburan beliau sebagai masjid.” (HR. Muslim no. 853). Maknanya
kuburan Nabi Saw. tidak pertontonkan agar para peziarah tidak bersujud kepada
kuburan beliau untuk menghindari timbulnya fitnah orang lain yang melihat sehingga
beranggapan adanya penyembahan kuburan walaupun di hati yang bersujud tersebut
sekedar penghormatan kepada Rasulullah Saw.
k. Ulama Pendukung Ziarah Makam Rasulullah Saw.
1. Al-Qadhi Iyadh (Syarh al-Muslim juz 2 halaman 177)
2. Al-Imam an-Nawawiy (Syarh Shahih Muslim juz 9 halaman 106)
3. Al-Imam Ibn Hajar al-Haitamiy (Al-Idhah halaman 488)
4. Al-Imam Ibn hajar al-Asqalaniy (Fath al-Bari juz 3 halaman 66)
5. Al-Imam asy-Syeikh al-Karmaniy (Syarh al-Bukhari juz 7 halaman 12)
6. Syeikh Badruddin al-Ainiy dan ulama-ulama yang dibuat hujjah beliau (Syarh
al-Bukhari)
7. Syeikh Zainuddin (‘Umdat al-Qari juz 7 halaman 254)
8. Syeikh Abu Muhammad ibn Qudamah al-Hanbali (Al-Mughni juz 3 halaman 556)
9. Syeikh Abul Faraj ibn Qudamah al-Hanbali (Asy-Syarh al-Kabir juz 3 halaman
495)
10. Syeikh Manshur bin Yunus al-Bahuthi al-Hanbali (Kasyf al-Qina’ juz 2
halaman 598)
11. Syeikhul Islam Taqiyuddin Muhammad al-Futuhiy al-Hanbali (Muntaha al-Iradat
juz 2 halaman 171)
12. Syeikh Mar’iy bin Yusuf al-Hanbali (Dalil ath-Thalib halaman 88)
13. Syeikhul Islam Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzzabadi (Ash-Shalat wa
al-Basyar halaman 122-123)
14. Al-Imam Syeikh Muhammad bin ‘Allan ash-Shadiqi asy-Syafi’i (Al-Futuhat
ar-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar an-Nawawiyah juz 5 halaman 31)
15. Syeikh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam qashidahnya “An-Nuniyyah”
16. Syeikh Ibnu Taimiyah (Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim halaman 336-339)
17. Syeikhul Wahabiyyah Muhammad bin Abdil Wahab an-Najdi (Majmu’ Muallifat,
juz 3 halaman 68, Cet. Jami’ah al-Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyah).
18. Dan masih sangat banyak lagi ulama-ulama yang melegalkan ziarah kubur.
l. Dalil-Dalil Diperbolehkannya Ziarah Kubur pada Hari-hari Tertentu
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ
كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ
“Dari Abdullah bin Umar Ra. bahwa Nabi Saw. selalu mendatangi masjid Quba
setiap hari Sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan mengendarai
kendaraan, sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam Bukhari dalam
Shahih al-Bukhari juz 1 halaman 398 hadits no. 1174).
Dalam mengomentari hadits ini al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحة
والمداومة على ذلك ، وفيه أن النهي عن شد الرحال لغير المساجد الثلاثة ليس على
التحريم
“Hadits ini dengan sekian jalur yang berbeda menunjukkan diperbolehkannya
menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual yang baik dan istiqamah.
Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan bepergian ke selain tiga masjid
(Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsha, dan Masjid Nabawi tidak haram).” (Fath
al-Bari juz 3 halaman 69).
كان النبي صلی الله علیه و آله يأتي قبور الشهداء عند رأس الحول فيقول: السلام
عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار و
وكان ابو بكر و عمر وعثمان يفعلُون ذلك
“Dari Suhail bin Abi Shalih at-Taimi bahwa Nabi Saw. mendatangi kuburan
orang-orang yang mati syahid ketika awal tahun. Beliau Saw. bersabda: “Keselamatan
semoga terlimpah atas kamu sekalian, karena kesabaranmu dan sebaik-baiknya
tempat kembali ke surga.” Shahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman juga melakukan
hal yang sama seperti Nabi Saw.” (HR. Abdurrazzaq dalam Mushannaf juz 3 halaman
537 dan al-Waqidi dalam al-Maghazi).
Hadits di atas menerangkan kebolehan melakukan amaliah pada waktu tertentu,
sedangkan hadits yang dijadikan landasan oleh Mahrus untuk melarang ziarah
kubur dalam waktu tertentu terlihat kurang tepat. Dalam konteks ini Ali bin Abi
Thalib Kw. mengatakan:
منالسّنّة زيارة جبانة المسلمين يوم العيد وليلته
“Diantara sunnah Nabi Saw. adalah berziarah ke kuburan kaum muslimin di siang
hari raya dan malamnya.” (HR. al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra).
m. Amalan-amalan dalam Ziarah Kubur
Amalan-amalan yang telah dilakukan saat ziarah kubur secara yang umum yaitu
membaca al-Quran, tahlil, sholawat dan berdoa.
Ketika berziarah seseorang dianjurkan membaca al-Quran atau lainnya,
sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
عَنْ مُعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: اِقْرَؤُوْ عَلَى مَوْتَاكُمْ “يس” (رواه ابو داود، ٢٧١٤)
Dari Ma’qil bin Yasar Ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Bacakanlah
surat Yasin pada orang-orang yang meninggal di antara kamu.” (HR. Abu Dawud no.
2714).
Berdoa di kuburan pun adalah sunnah Rasulullah Saw. Beliau Saw. bersalam dan
berdoa di Pekuburan Baqi’ dan berkali-kali dilakukannya. Demikian diriwayatkan
dalam Shahihain Bukhari dan Muslim, dan beliau Saw. bersabda: “Dulu aku pernah
melarang kalian menziarahi kuburan, maka sekarang ziarahlah.” (Shahih Muslim
hadits no. 977 dan 1977).
Dan Rasulullah Saw. memerintahkan kita untuk mengucapkan salam untuk ahli kubur
dengan ucapan: “Assalaamu’alaikum Ahliddiyaar minalmu’minin walmuslimin, wa
innaa insya Allah lalaahiquun, as’alullah lanaa wa lakumul’aafiah” (Salam
sejahtera atas kalian wahai penduduk dari mukminin dan muslimin, semoga kasih
sayang Allah atas yang terdahulu dan yang akan datang, dan sungguh kami insya
Allah akan menyusul kalian). (Shahih Muslim hadits no. 974, 975, 976).
Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. bersalam pada Ahli Kubur dan
mengajak mereka berbincang-bincang dengan ucapan: “Sungguh kami insya Allah
akan menyusul kalian.”
Berziarah ke makam para wali dan orang-orang shaleh telah menjadi tradisi para
ulama salaf. Diantaranya adalah Imam asy-Syafi’I Ra. jika ada hajat, setiap
hari beliau berziarah ke makam Imam Abu Hanifah. Seperti pengakuan beliau dalam
riwayat yang shahih:
Dari Ali bin Maimun berkata: “Aku mendengar Imam asy-Syafi’i berkata: “Aku
selalu bertabaruk dengan Abu Hanifah dan berziarah mendatangi makamnya setiap
hari. Apabila aku memiliki hajat, maka aku shalat dua rakaat, lalu mendatangi
makam beliau dan aku mohon hajat itu kepada Allah Swt. Di sisi makamnya,
sehingga tidak lama kemudian hajatku terkabul.” (Tarikh Baghdad juz 1 halaman
123).
Dan mengenai berdoa di kuburan sungguh hal ini adalah perbuatan sahabat Ra.
sebagaimana riwayat di atas bahwa Ibn Umar Ra. berdoa di makam Rasul Saw., dan
memang seluruh permukaan bumi adalah milik Allah Swt., boleh berdoa kepada
Allah di manapun, bahkan di toilet sekalipun boleh berdoa. Lalu di manakah
dalilnya yang mengharamkan doa di kuburan? Sungguh yang mengharamkan doa di
kuburan adalah orang yang dangkal pemahamannya, karena doa boleh saja di
seluruh muka bumi ini tanpa kecuali.
n. Bertawassul dan Bertabarruk saat Ziarah Kubur
Satu pertanyaan mencuat: “Bagaimanakah bertawassul dan bertabarruk ketika
ziarah kubur yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.?”
Tentulah Rasulullah Saw. tidak memerlukan wasilah (perantara) dengan maqom
keutamaan muslim yang lain karena beliau adalah manusia yang paling utama,
maqom paling utama di sisi Allah Azza wa Jalla.
Para Sahabat mencontohkan doa bertawassul dan bertabarruk ketika berziarah ke
kuburan paman Nabi Saw. seperti berikut ini:
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ
نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Ya Allah, kami dahulu pernah meminta hujan kepadaMu dengan perantaraan Nabi
kami kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Maka sekarang kami memohon
kepadaMu dengan perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan untuk
kami.” (HR. Bukhari no. 3434)
Atau sebagaimana yang disampaikan Ibnu Katsir dalam kitab Tarikhnya juz 7
halaman 105: “Berkata al-Hafidz Abubakar al-Baihaqi, telah menceritakan Abu
Nashr bin Qatadah dan Abubakar al-Farisi, mereka berdua berkata: “Telah
menceritakan kepada kami Abu Umar bin Mathor, telah menceritakan kepada kami
Ibrahim bin Ali adz-Dzahli, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya,
telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Amasy dari Abi Shalih dari
Malik ad-Dar, ia berkata:
“Orang-orang mengalami kemarau panjang saat pemerintahan Umar. Kemudian seorang
laki-laki datang ke makam Nabi Saw. dan berkata: “Ya Rasulullah Saw.
mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa.”
Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah Saw. dan dikatakan kepadanya:
“Datanglah kepada Umar dan ucapkan salam untuknya beritahukan kepadanya, mereka
semua akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya, bersikaplah bijaksana,
bersikaplah bijaksana.”
Maka laki-laki tersebut menemui Umar dan menceritakan kepadanya akan hal itu.
Kemudian Umar berkata: “Ya Tuhanku aku tidak melalaikan urusan umat ini kecuali
apa yang aku tidak mampu melakukannya.” (Ibnu Katsir menyatakan bahwa sanad
hadits ini shahih. Malik ad-Daar adalah seorang bendahara gudang makanan pada
pemerintahan Umar Ra. Ia adalah tsiqah).
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari juz 2 pada kitab al-Jum’ah
bab Sualunnas al-Imam idza Qohathu: “Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan
sanad yang shahih dari riwayat Abu Shalih as-Saman dari Malik ad-Daar seorang
bendahara Umar. Ia berkata: “Orang-orang mengalami kemarau panjang saat
pemerintahan Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi Saw. dan
berkata: “Ya Rasulullah Saw. mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah
binasa datanglah kepada Umar dst.” Dan laki-laki itu adalah Bilal bin Haris
al-Muzani.”
Begitupula dalam Tafsir Ibnu Katsir pada QS. an-Nisa’ ayat 64 dijelaskan:
“Al-Atabi Ra. menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat kubur Nabi
Saw., datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan: “Assalamu’alaika ya
Rasulullah. Aku telah mendengar Allah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya jikalau
mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada
Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai
Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisa’ ayat 64).
Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan
meminta syafaat kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada
Tuhanku.” Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut:
“Hai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka
menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini.
Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya
terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.”
Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk
sekali hingga tertidur. Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi Saw.,
lalu beliau Saw. bersabda: “Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan
sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan
kepadanya.”
o. Taubatnya Pengikut Wahabi yang Kini Rajin Ziarah ke Makam Wali
Cerita ini adalah berdasarkan kisah nyata tentang taubatnya pengikut Wahabi
menjadi pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah yang cinta ziarah.
Hari itu, Rabu 1 Mei 2013, saya mendatangi Makam Habib Ahmad bin Alwi al-Haddad
atau yang lebih dikenal sebagai Habib Kuncung saat Dzuhur. Setelah selesai
shalat dhuhur berjamaah saya bergegas ke lokasi makam. Ternyata saya sendirian
di dalam area makam. Kemudian satu persatu para peziarah mulai berdatangan
hingga sekitar 15 orang. Diantara mereka ada seorang sales, habaib, kyai serta
orang kantoran.
Setelah berziarah saya pulang dan langsung menuju Jalan Rawa Jati karena ada
janji dengan teman untuk berziarah bersama ke Luar Batang, yaitu di makam Habib
Husein bin Abubakar Alaydrus. Saya menunggu di halte pinggir jalan.
Setelah melihat di sekeliling, ternyata di belakang saya ada dua orang
berpakaian rapi yang saya lihat saat ziarah di makam Habib Kuncung tadi. Saya
pun menyapanya dan berkenalan dengannya. Salah satunya memperkenalkan diri
bahwa namanya Deni. Lalu saya saling bertukar nomor handphone.
Sambil menunggu teman yang belum datang, saya lalu bercerita kesana kemari. Dia
menceritakan bahwa dulu sangat berbeda dengan sekarang. Dia sangat tidak
mempercayai kekeramatan aulia, apalagi tahlil, tawassul, maulid, ziarah kubur
dan lain sebagainya. Intinya adalah dia dulunya Wahabi tulen.
Dia kemudian bercerita mengapa sampai berubah 180 derajat sekarang.
Diceritakannya bahwa pada suatu hari dia makan siang di daerah Pluit, dekat
dengan masjid Luar Batang. Rasa penasaranya membuat dia ingin tahu masjid keramat
tersebut yang katanya terdapat makam waliyullah. Dia lalu berencana untuk
melihatnya keesokan harinya.
Pada malam sebelum dia mengunjungi masjid Luar Batang tersebut, dia bermimpi
bertemu dengan seseorang berpakaian jubah putih. Kemudian Deni berdialog dengan
sosok orang tersebut.
Deni: “Kamu siapa?”
Pria berjubah: “Ah besok juga ente kenal ama ana.”
Deni: “Bapak dari mana?”
Pria berjubah: “Besok juga kita bakalan ketemu di rumah saya.”
Dia lalu terbangun, heran dan bertanya-tanya dalam hati.
Keesokan harinya dia berangkat ke Luar Batang. Dia tidak ada niatan untuk ikut
tahlil ataupun ziarah kubur. Akan tetapi hanya penasaran ingin melihat masjid
tersebut. Namun seakan hatinya ada yang menuntun bergerak untuk masuk area
makam Habib Husein bin Abubakar Alaydrus. Berhubung dia tidak bisa bagaimana
caranya ziarah, maka dia hanya duduk lalu membaca surat al-Fatihah kemudian
langsung bergegas pulang.
Tibalah malam setelah ziarah, disaat tertidur dia bermimpi bertemu pria
berjubah seperti yang kemarin lagi. Kemudian terjadi dialog:
Pria berjubah: “Nah kamu sudah tahu siapa saya kan?”
Deni: “Saya tidak tahu bapak itu siapa, dan saya juga tidak kenal denganmu.”
Pria berjubah: “Bukankah siang tadi kamu telah datang ke masjidku dan
menziarahi makamku?”
Deni: “Kan bapak sudah dimakamkan, berarti sudah mati.”
Pria berjubah: “Janganlah kamu kira kami ini mati. Kami masih hidup. Bila kamu
sering berziarah kepada kami, kami pun akan sering berziarah kepada kalian.
Deni terbangun, dia masih terus memikirkan peristiwa mimpi tersebut. Dan tak
lama setelah itu, akhirnya dia meninggalkan manhaj salaf palsu alias wahabi
yang telah dianut berpuluh-puluh tahun lamanya. Dia telah kembali ke jalan para
salaf, mengikuti Ahlussunnah wal Jama’ah yang suka berziarah, tawassul,
tabarruk, maulid dan amalan-amalan lainnya. Kini dalam seminggu dia bisa sampai
3-4 kali berziarah, seperti ke makam Habib Kuncung.
Saat menceritakan kisah ini matanya berkaca-kaca dan meneteskan air matanya
karena menyesal kenapa dulu mengikuti ajaran manhaj salaf palsu alias Wahabi.
(Diceritakan oleh Habib Musthofa Al-Jufri)